Dari Desa untuk Dunia
Semua hal besar berawal dari hal kecil, seperti kota besar yang juga berasal dari desa kecil. Hiruk pikuknya kehidupan kota menimbulkan kerinduan akan tenangnya pedesaan dan menjadi inspirasi untuk menyatukan dua konferensi internasional; it's timeback to the village.
Di sisi lain, para narasumber dari luar negeri juga menyampaikan pendapat yang beragam sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan observasinya. Menurut Pitt Berkemeyer dari Jerman, "When it comes to the modern life, people in the city will try hard to come back to the village to get happiness, while people in the village will try hard to go to the city to earn money". Di sisi lain, Praveen Nahar dari National Institute of Design, India menyorot tentang nilai-nilai dasar sebuah desa, "Value base in village revitalization consists of knowledge base, skill base, and cognitive base", jelasnya. Kyoko Okutani dari WWB Japan lebih melihat dari sudut pandang enterpreneurship dan kultur. "Entrepreneurship may make new things, but should not destroy the culture”. Sudut pandang dari social innovation disampaikan oleh Fumikazu Masuda, “Destination” host, Open House Japan, dan Professor of Tokyo Zokei, University Japan. Menurutnya, “Key concept for social innovation is based on 4 aspects called SLOC: Small (in scale), Local (not centralized), Open (to the people and society), Connected (with the rest of the world)". Tidak tertinggal isu turisme yang juga sedikit banyak berpengaruh dan mempengaruhi upaya revitalisasi desa. "There are 5 capitals relating to the tourism development: physical capital, human capital, social capital, natural capital, and financial capital," Daichi Iwase, Thailand.
Semua hal besar berawal dari hal kecil, seperti kota besaryang juga berasal dari desa kecil. Hiruk pikuknya kehidupan kota menimbulkankerinduan akantenangnya pedesaan dan menjadi inspirasi untuk menyatukan dua konferensi internasional;it's timeback to the village.
Semangat kelestarian dunia menjadi dasar dari pelaksanaanThe 1st International Conference of Village Revitalization (ICVR)dan The 9th International Conference of Design for Sustainability (ICDS). Dua konferensi yang berawal dari lingkup yang berbeda. Village revitalization berangkat dari kondisi keharmonisan alam pedesaan, sementara design for sustainability berawal dari metropolitan (Tokyo) dengan membawa beragam kompleksitas perkembangan desainnya.
Pelaksanaan dua konferensi tersebut berpusat di Desa Kandangan, Temanggung, Jawa Tengahsebagaidesa pertama di dunia yang menjadi tuan rumah konferensi internasional yang terlaksana pada tanggal 16-21 Maret 2014. Lokasi desa memang sengaja dipilih agar peserta dapat memperkaya rasa dan bersentuhan langsung dengan alam pedesaan.Program enam hari iniberhasil menarik perhatian peserta dari berbagai negara dengan variasi latar belakang usia dan pendidikan seperti mahasiswa, profesor, dosen, konsultan, desainer interior, desainer produk, arsitek, teknisi mesin, teknisi sipil, penulis, bahkan pembuat film.
Pembukaan dua perhelatan internasional ini memanfaatkan latar komposisi tempeh berlogo para pendukung acara di Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta.Kegiatan esoknya berpusat di Bumi Langit Institute, Desa Mangunan, Imogiri, Bantul dipimpin oleh Iskandar Waworuntu.Agenda tersebut terlaksana dengan kesadaran bahwa permakultur merupakanesensisebuah desa, dimana petani memanfaatkan hamparan tanah untuk bercocok tanam, beternak, dan pemanfaatan produktif lainnya. Di sini peserta belajar bahwa dunia tercipta untuksaling menghormati dan melengkapi. Kegiatan hari pertama ini kemudian ditutup dengan makan siang hasil olahan permakultur dan diskusi tentang adab makan. Peserta mendapatkan pencerahan bahwa kesehatan makanantidak hanya dinilai secara fisik saat dikonsumsi tetapi juga secara spiritualdalamprosespembuatannya.
Seiring terbenamnya matahari, peserta tiba di Desa Kandangan, Temanggung lalu dibagi menjadi 3 kelompok untuk pertukaran 3 home stays setiap malamnya. Setiap malamnya para peserta akan menikmati suasana dan lingkungan sekitar bangunan Home stays berbeda-beda. Suasana di tepi pemukiman, di sebelah kolam dengan pemandangan Gunung Sumbing, serta di tengah kebun kopi yang akan memberikan sensasi berbeda dan juga memperkaya rasa serta keterikatan peserta pada suasana yang hanya bisa ditemui di pedesaan.
Harapan bahwa kegiatan selama konferensi akan terus diingat dan memberikan pencerahan dan inspirasi untuk masa mendatang. Desa juga kemudian menjadi lebih semangat, sehingga upaya merevitalisasi dan mengoptimalkan potensi desa akan terus meningkat.Konferensi ini merupakan langkah awal yang membuka mata dan meningkatkan apresiasi. Sudut pandang apriori terhadap desa harus dihilangkan untuk kemajuan-kemajuan bersama yang mengagumkan di masa mendatang. Salah satunya adalah pemanfaatan bangunan yang digunakan sebagai home stay selama konferensi ini sebagai fasilitas revitalisasi desa di kemudian hari.
Setiap hari peserta menikmatimakanan dan minuman olahan lokal yang disajikan dalam anyaman kotak bambu tradisional (besek) yang bisa digunakan kembali.Keakraban peserta dengan alam dan warga diperkuat melaluitur sepeda bambu pagi hari (Spedagi) mengelilingi Dusun Kelingan dan dilanjutkan dengan konferensi di dalam tenda di bawah rumpunbambu, duduklesehan. Satu hal yang tidak ditemukan di konferensi lainnya adalah para warga yang baru pulang merumput atau bekerja juga turut bergabung mendengarkan presentasi di tenda konferensi.
Konferensi ini juga menarik perhatian Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia yangdatang pada hari konferensi, mengikuti tur sepeda bambu, menghadiri pertunjukan kuda lumping dan mengunjungi semua home stays. "Village's problem upon the modernity is on fund raising, marketing, and training", ungkap Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia dalam sambutannya. Beliaumendukung ICVR-ICDS dan berharap acara ini membantu Indonesia meningkatkan hubungan internasional dan pembangunan desa berkelanjutan. Konferensi internasional ini diakuinyapaling berkesan baginya karena diselenggarakan dalam kesederhanaan desa serta melibatkan masyarakat dalam proses persiapannya dan selama penyelenggaraannya.
Bahasan mengenai revitalisasi desa dipaparkan dalam berbagai sudut pandang dari empat pembicara lokal dan lima pembicara internasional.Singgih Susilo Kartono, Magno Design Studio, Indonesia, merupakan salah satu pembicara yang juga menjadi penggagas terselenggaranya konferensi ini. Dalam presentasinya dia menyampaikan
"Now is the right time to think about how village can be a place for future living. Village has a lot of potentials to be a comfortable living place, and also a sustainable community, independent and good social structure. This momentum comes when development in information and communication technology opens the isolation in the remote areas. Village promises a better living quality for human and nature".Sementara itu, Gede Kresna dari Bali berpendapat, "Local products can have global quality".
Eko Prawoto, arsitek, melihat desa sebagai kebahagiaan dan keluarga. "Village life is a happy life, a village means a family".Iskandar Waroruntu, founderdari Bumi Langit Institute, melengkapi pendapat tersebut dengan menyampaikan, “Everything in this world meant to complete each other, everything is created for a purpose”.
Closing ceremony di bawah rumpun bambu diramaikannyanyian dalam berbagai bahasa, baca puisi oleh anak-anak desa setempat, serta pertunjukan wayang godhong (wayang daun) yangdihadiri peserta dan dalam suasana yang hangat. Sama seperti "kelingan" dalam Bahasa Jawa yang berarti "teringat", ICVR-ICDS 2014 telah membekas dihati peserta, panitia,dan warga. Konferensi ini juga sukses membuktikan bahwa dunia dengan kompleksitas masalahnya membutuhkanpembelajaran dari hal kecil; pedesaan. Dari desa, inspirasi untuk menghargai keharmonisan hidup dengan alam diharapkan semakin berkembang dan bisa mewarnai kebijakan pembangunan desa di masa depan.
*Lavinia Elysia adalah mahasiswa desain interior Universitas Kristen Petra Surabaya
Resource: INDESIGN Indonesia/Issue 09.2014
Also published on: Spedagi Website
English summary:
1st ICVR & 9th ICDS
"Sustainability needs balance, between the social aspect, ecology aspect, and economy aspect".
1st International Conference of Village Revitalization & 9th International Conference of Design for Sustainability 2014, with the theme of "It's time back to village". Being the youngest on the conference gave me so much to learn. Mastering local language and international language can actually bring you into a good friendship both with the local villagers and also the international people.
If I may give a simple conclusion for this event, it will be that design coexists with this world, from the beginning of the making of the world, today where we live, also until forever. This conclusion was taken under my personal understanding of these simple words I conclude myself from the conference:
"Everything in this world is meant to complete each other, everything was created for a purpose," Mr. Iskandar W. (Bumi Langit Institute)
"Value base in village revitalization consists of knowledge base, skill base, and cognitive base," Praveen Nahar , National Institute of Design, India.
"Local products can actually have global quality," Gede Kresna , Bali, Indonesia.
"Village life is a happy life, a village means a family," Eko Prawoto, Indonesia.
"Entrepreneurship may make new things, but should not destroy the culture," Kyoko Okutani, Representative of WWB Japan in Flores.
"Village's problem upon the modernity is on fund raising, marketing, and training," Mari Elka Pangestu , Indonesia's Minister of Tourism & Creative Economy.
"There are 5 capitals relating to the tourism development: physical capital, human capital, social capital, natural capital, and financial capital," Daichi Iwase , Bangkok, Thailand.
"When it comes to the modern life, people in the city will try hard to come back to the village to get the happiness, while people in the village will try hard to go to the city to earn money," Pitt Berkemeyer, Germany, on "If Generations Change.."
"Key concept for social innovation is based on 4 aspects called SLOC: Small (in scale), Local (not centralized), Open (to the people and society), Connected (with the rest of the world)," Fumikazu Masuda, Japan.
Thank you all for the lesson learned and brotherhood bond. See you all again soon!
Day 1 location: Tembi Rumah Budaya Day 2 location: Bumi Langit Permaculture Day 3-6 location: Magno, Omah Yudhi, Omah Tani, & Bamboo Forest